Seratus Satu Ingkung, Ritual ‘Memohon’ kepada Tuhan Yang Agung
http://www.diplomasinews.net/2019/09/seratus-satu-ingkung-ritual-memohon.html
RITUAL 101
INGKUNG : Di rumah Eyang Cokroamnioto, hamparan 101 ingkung itu sebagi ritual ‘memohon’
kepada Tuhan Allah SWT, yang Maha Agung. [ image : roy enhaer/diplomasinews.net
]
|
DIPLOMASINEWS.NET_SAMBIREJO_BANYUWANGI_Alunan
gending-gending Jawa itu terdengar beritmis magis
ditabuh oleh para perawit, tepat dini hari pada malam 1 Suro, di halaman depan
rumah Eyang Cokroaminoto, 65 tahun, di Dusun Sambirjo, Desa Sambimulyo, Bangorejo,
Banyuwangi, Jawa Timur, Senin, 2 September
2019.
Ritmis tetabuhan
gending Jawa itu berhenti sejenak ketika di lantai rumah Eyang Cokroaminoto,
tersebut, telah dihamparkan sesajian ingkung sebanyak 101 ekor ayam dan ambengan. Kenapa ingkung itu diadakan sejumlah seratus satu biji?
Salah satu
kerabat dekat Eyang Cokroaminoto, Edy Suryanto, 40 tahun, menjelaskan bahwa makna
jumlah ingkung 101 biji itu adalah
menandai sejumlah keluarga yang datang ke ndalem
Eyang, pada dini hari malam 1 Suro, itu.
“Kalau jumlah ingkung - nya 101 biji, artinya, keluarga
yang hadir sekarang ya sebanyak 101, “ jelas Edy, ketika ditemui usai acara
ritual malam satu Suroan, itu, Senin, 2 September 2019.
Catatan DIPLOMASINEWS.NET,
bahwa , Eyang Cokroaminoto itu tokoh sepuh
yang disepuhkan tidak hanya oleh warga
di sekitarnya saja, tetapi, dia juga disungkani
oleh warga di luar Banyuwangi, seperti,
Surabaya, Madiun, Tulungagung, Blitar, Trenggalek, dan kota-kota besar lainnya.
MANUSIA BIASA :
Ucap Edy Suryanto, bahwa Eyang adalah manusia biasa yang tak sanggup memberikan
apa pun, kecuali hanya Allah SWT, saja yang Maha Memberi. [ image : roy
enhaer/diplomasinews.net ]
|
Menurut Edy, disebut
sepuh karena dia aktivitas
sehari-harinya hanya dan hanya menolong sesama umat yang tengah mengalami beragam
kesulitan hidup. Mulai dari soal ketidakharmonisan keluarga, tengah menderita dan
‘diganjar’ sakit, agar sukses dalam berniaga, dan ragam kompleksitas hidup umat
manusia.
Lanjutnya, dalam
menolong sesama, Eyang tidak pernah ‘minta’ ganti rugi materi dalam bentuk apa pun. Dia hanya ikhlas dan ikhlas menolong orang-orang
yang sangat membutuhkan pertolongannya. Masih ucapnya, bahwa sejumlah ratusan
keluarga yang datang malam itu adalah mereka yang merasa ‘matur nuwun’ atas apa
yang pernah Eyang berikan, sehingga
mereka jauh – jauh datang dari tempat yang jauh itu sebagai apresiasi atau bentuk
ucapan terima kasihnya. Bahkan, kata Edy, Eyang tak mau disebut ‘dukun’ dan
bukan atau tak mau disebut sebuah ajaran aliran. Dia hanya bertugas menolong
dan membantu kepada siapa pun. Tak penting mereka itu suku apa, agama apa, baik
kaya atau miskin. Semua boleh ‘kulo nuwun’ dan di tampung di rumah sederhananya
itu.
“Eyang hanya manusia biasa. Eyang sesungguhnya
tidak bisa menolong, dan yang bisa hanya ‘Yang Menciptakan Alam Semesta dan
seisinya, itu. Yang bisa merubah segala sesuatu itu hanya Allah SWT. Sekali lagi,
Eyang hanya ‘sakdermo’ atau sekadar
mimintakan sesuatu kepada – Nya,” tutur Edy, berurai-urai ketika diwawancarai
DIPLOMASINEWS.NET, Senin, 2 September 2019.
Masih menurut Edy,
bahwa gelaran ritual malam 1 Suro dengan mempersembahkan 101 ingkung dan ambengan sego gurih, seperti malam itu adalah bentuk
pengekspresian setiap hati, setiap naluri kemanusaian atas mereka yang pernah ‘ditolong’
kesulitannya oleh Eyang Cokoroaminoto, waktu dulu.
DESA SEJAHTERA :
Kata Wintoyo, kepala desa Sambimulyo, bahwa semoga pada gelaran ritual malam 1
Suro itu,segemap warga desanya sejahtera lahir dan batin. [ image : roy
enhaer/diplomasinews.net ]
|
“Di samping itu,
mereka mendoakan Eyang atas keselamatan dan kesejahteraannya agar tetap
terjaga,” pungkas Edy, kepada DIPLOMASINEWS.NET, ketika menyudahi wawancaranya,
Senin, 2 September 2019.
Sementara itu, Wintoyo,
SH, kepala desa Sambimulyo, Bangorejo, Banyuwangi, Jawa Timur, itu, ketika ‘ditodong’
DIPLOMASINEWS.NET, pada gelaran ritual malam 1 Suro, berucap bahwa helatan
semacam itu, dilakukan setiap tahun dan setiap pada malam 1 Suro. Ucapnya lagi,
kebetulan 1 Suro jatuh bertepatan di bulan Agustus, akhirnya sambil ‘ngiras – ngirus’ sekaligus
memperingati hari kemerdekaan ke – 74 Republik Indonesia, tahun ini.
“Jika disebut
sukses, ya Alhamdulillah sukses acara
ritual malam ini. Semoga dengan acara ritual ini seluruh warga desa akan
mendapatkan keselamatan, dan kesejahteraan hidup dan kehidupannya. Termasuk seluruh
perangkat desa di sini,” terang Wintoyo, kepada DIPLOMASINEWS.NET, Senin, 2
September 2019.
Onliner : roy enhaer/diplomasinews.net