Jurkam [ Jurnalis Kampung ]


@roy enhaer
SAYA pikir belum teramat terlambat jika hari ini saya ucapkan dengan khidmat congratulation to atas Hari Pers nasional [ HPN ] 2020. Pasalnya, secara kultural memang tidak dilarang jika sesuatu yang lahir itu ‘diulangtahuni’ setiap tahun atas peristiwa kelahirannya yang dulu pernah terjadi.

Dan, kenapa saya harus mengucapkan ultah HPN? Karena meski jelek – jelek begini juga seorang jurnalis tingkat kampung. Asal tahu saja, bahwa kejurnalistikan saya itu diawali karena sekadar anut grubyug alias gerudaggerudug ikut – ikutan latah agar jadi wartawan dengan segala atribut layaknya seorang pewarta yang sering muncul di layar TV itu.

Sekadar catatan yang saya catat di dalam buku catatan, bahwa di sekitar kampung saya ternyata begitu banyak jurnalis yang berseliweran mondarmandir di jalanan dengan segala kegagahan dan terlihat sangat smart penampilan mereka. Akhirnya, demi melihat ‘baju kebesaran’ mereka itu, terbiuslah saya untuk ikut menjadi jurnalis ‘kampung’ di kampung itu.

Atas dasar hanya jurnalis kampung, maka sejarah hidup saya terbatas di level kampung. Maka cara berpikir dan berlogika saya juga sebatas di sekitar itu – itu saja ketika harus melakoni profesi sebagai seorang jurnalis. Tibaknya, ketika dalam perjalanan saya menekuni dunia kewartawanan dalam beberapa tahun itu, semakin tidak jelas mekanisme kerja sebagai seorang pewarta. Pasalnya, terlalu banyak aksi saya di lapangan yang ‘out of the track’ alias keluar dari garis dasar dan norma – norma. Tetapi, praktiknya teramat sering menerabas dan menabrak rambu – rambu kode etik jurnalistik [ KEJ ] pada setiap hunting dan investigasi berita di lapangan.

Jika semua hal itu dirunut ke belakang, karena dasar kejurnalistikan saya berawal hanya dari gerudaggerudug saja tanpa basis kompetensi memadai sebagai disiplin pendukung keilmuan atas profesi itu. Tentu saja ketika praktik di lapangan, saya hanya mengandalkan instinktif  dengan menerabas jalan pintas demi profite atau keuntungan isi perut saya sendiri.

Celakanya lagi, selama ini yang saya lakoni sebagai seorang jurnalis dalam berinvestigasi di lapangan ternyata tidak mencerminkan sebagai seorang professional. Tetapi semakin ‘tidak jelas’ antara tupoksi seorang wartawan dengan tugas – tugas penyelidikan dan penyidikan. Bahkan pada saat – saat tertentu, saya berlaku dan ‘macak’ sebagai advokasi.

Akhirnya, saya telah kehilangan independensi kejurnalistikan. Merobohkan kenetralitasan, dan menggadaikan ‘harga diri’ dan kejujuran dan berpihak kepada para ‘juragan’ yang berduit dengan ‘membarter’ akal sehat, kecerdasan berpikir, kejernihan nurani kewartawanan. Tetapi lebih memilih bersedia diperbudak oleh birahi, libido, dan orgasme materi dari para pengusaha dan penguasa di dalam lingkaran labirin ‘kebobrokan’ birokrasi di kampung saya sendiri.  

Dan, sejauh yang saya pahami bahwa seorang jurnalis itu tugas utamanya hanyalah menulis, menulis, dan menulis dari hasil penggalian yang mendalam bahkan menukiki hingga tajam dari kedalaman jantung persoalan dan dari sumber – sumber berita di lapangan. Itu saja! 

Lagi – lagi ini adalah sebuah incident fatal di dunia kejurnalistikan atas profesi saya sebagai seorang wartawan selama ini. Dalam perjalanan panjang saya di jagat kewartawanan, pasti telah menemukan beragam kolega, sahabat, teman, handai taulan, dan kerabat kental dari segala level, entah itu instansi swasta atau birokrasi resmi di negeri ini.

Ternyata, selama saya bergulat dan bergelut sebagai seorang jurnalis itu semakin menampakkan ‘berkah’ pada akhirnya. Dan, keberkahan tersebut sangat bisa saya rasakan dan nikmati hari – hari ini. Tetapi dengan segala resikonya, saya mesti sayonara meninggalkan dan menanggalkan profesi sebagai jurnalis.

Tak mengapa dan no problem atas profesi itu. Pasalnya, kini saya sudah berganti baju sebagai seorang leveransir dan sudah mampu berdikari dengan menancapkan bendera sebuah CV yang bergerak di bidang kegiatan proyek – proyek infrastruktur dari ‘dinas’ di kampung saya.

Singkat cerita, berkat gerudaggerudug ketika awal sebagai jurnalis, itu, kemudian saya lebih dekat dengan ‘orang – orang VIP’ di birokrasi. Dan, akhirnya membawa ‘berkah’ melimpah ruah setiap kali musim pengadaan proyek yang sumber dananya dari duit rakyat di kampung saya. Bagi saya, jurnalis adalah masa lalu dan sekadar buat ‘pancikan’, batu loncatan, dan 'tangga darurat' untuk menuju hidup yang lebih baik.

Matur nuwun dan ‘selamat tinggal’ dunia wartawan. Tapi, betapa pun itu, saya tetap congratulation to dan ucapkan dirgahayu Hari Pers Nasional [ HPN ] 2020. 

@roy enhaer
Monday, February 10, 2020  

Related

Cover Story 7679926774020078552

Follow Us

Postingan Populer

Connect Us

DIPLOMASINEWS.NET
Alamat Redaksi : Perumahan Puri Jasmine No. 07, Jajag, Gambiran, Banyuwangi, Jawa Timur
E-mail : redaksi.diplomasi@gmail.com
item