Jurkam [ Jurnalis Kampung ]
http://www.diplomasinews.net/2020/02/jurkam-jurnalis-kampung.html
@roy enhaer |
SAYA pikir belum teramat terlambat jika hari ini
saya ucapkan dengan khidmat congratulation
to atas Hari Pers nasional [ HPN ] 2020.
Pasalnya, secara kultural memang tidak dilarang jika sesuatu yang lahir itu
‘diulangtahuni’ setiap tahun atas peristiwa kelahirannya yang dulu pernah terjadi.
Dan, kenapa saya harus mengucapkan ultah HPN? Karena meski jelek – jelek
begini juga seorang jurnalis tingkat kampung. Asal tahu saja, bahwa
kejurnalistikan saya itu diawali karena sekadar anut grubyug alias gerudag – gerudug ikut – ikutan latah agar jadi wartawan dengan segala
atribut layaknya seorang pewarta yang sering muncul di layar TV itu.
Sekadar catatan yang saya catat di dalam buku
catatan, bahwa di sekitar kampung saya ternyata begitu banyak jurnalis yang berseliweran
mondar – mandir di jalanan dengan segala kegagahan dan terlihat sangat smart penampilan mereka. Akhirnya, demi
melihat ‘baju kebesaran’ mereka itu, terbiuslah saya untuk ikut menjadi
jurnalis ‘kampung’ di kampung itu.
Atas dasar hanya jurnalis kampung, maka sejarah
hidup saya terbatas di level kampung. Maka cara berpikir dan berlogika saya
juga sebatas di sekitar itu – itu saja ketika harus melakoni profesi sebagai
seorang jurnalis. Tibaknya, ketika
dalam perjalanan saya menekuni dunia kewartawanan dalam beberapa tahun itu,
semakin tidak jelas mekanisme kerja sebagai seorang pewarta. Pasalnya, terlalu
banyak aksi saya di lapangan yang ‘out of the track’ alias keluar dari garis
dasar dan norma – norma. Tetapi, praktiknya teramat sering menerabas dan menabrak
rambu – rambu kode etik jurnalistik [ KEJ ] pada setiap hunting dan investigasi berita di lapangan.
Jika semua hal itu dirunut ke belakang, karena
dasar kejurnalistikan saya berawal hanya dari gerudag – gerudug saja
tanpa basis kompetensi memadai sebagai disiplin pendukung keilmuan atas profesi
itu. Tentu saja ketika praktik di lapangan, saya hanya mengandalkan instinktif dengan menerabas jalan pintas demi profite atau keuntungan isi perut saya sendiri.
Celakanya lagi, selama ini yang saya lakoni
sebagai seorang jurnalis dalam berinvestigasi di lapangan ternyata tidak
mencerminkan sebagai seorang professional. Tetapi semakin ‘tidak jelas’ antara tupoksi seorang wartawan dengan tugas –
tugas penyelidikan dan penyidikan. Bahkan pada saat – saat tertentu, saya
berlaku dan ‘macak’ sebagai advokasi.
Akhirnya, saya telah kehilangan independensi
kejurnalistikan. Merobohkan kenetralitasan, dan menggadaikan ‘harga diri’ dan
kejujuran dan berpihak kepada para ‘juragan’ yang berduit dengan ‘membarter’
akal sehat, kecerdasan berpikir, kejernihan nurani kewartawanan. Tetapi lebih
memilih bersedia diperbudak oleh birahi, libido, dan orgasme materi dari para
pengusaha dan penguasa di dalam lingkaran labirin ‘kebobrokan’ birokrasi di
kampung saya sendiri.
Dan, sejauh yang saya pahami bahwa seorang
jurnalis itu tugas utamanya hanyalah menulis, menulis, dan menulis dari hasil
penggalian yang mendalam bahkan menukiki hingga tajam dari kedalaman jantung
persoalan dan dari sumber – sumber berita di lapangan. Itu saja!
Lagi – lagi ini adalah sebuah incident fatal di dunia kejurnalistikan
atas profesi saya sebagai seorang wartawan selama ini. Dalam perjalanan panjang
saya di jagat kewartawanan, pasti telah menemukan beragam kolega, sahabat,
teman, handai taulan, dan kerabat kental dari segala level, entah itu instansi
swasta atau birokrasi resmi di negeri ini.
Ternyata, selama saya bergulat dan bergelut
sebagai seorang jurnalis itu semakin menampakkan ‘berkah’ pada akhirnya. Dan, keberkahan
tersebut sangat bisa saya rasakan dan nikmati hari – hari ini. Tetapi dengan
segala resikonya, saya mesti sayonara meninggalkan
dan menanggalkan profesi sebagai jurnalis.
Tak mengapa dan no problem atas profesi
itu. Pasalnya, kini saya sudah berganti baju sebagai seorang leveransir dan sudah mampu berdikari
dengan menancapkan bendera sebuah CV yang bergerak di bidang kegiatan proyek –
proyek infrastruktur dari ‘dinas’ di kampung saya.
Singkat cerita, berkat gerudag – gerudug ketika
awal sebagai jurnalis, itu, kemudian saya lebih dekat dengan ‘orang – orang VIP’
di birokrasi. Dan, akhirnya membawa ‘berkah’ melimpah ruah setiap kali musim
pengadaan proyek yang sumber dananya dari duit
rakyat di kampung saya. Bagi saya, jurnalis adalah masa lalu dan sekadar
buat ‘pancikan’, batu loncatan, dan 'tangga darurat' untuk menuju hidup yang
lebih baik.
Matur
nuwun dan ‘selamat tinggal’ dunia
wartawan. Tapi, betapa pun itu, saya tetap congratulation
to dan ucapkan dirgahayu Hari Pers Nasional
[ HPN ] 2020.
@roy enhaer
Monday, February 10, 2020