Pemerhati Ketahanan Pangan, Dede Farhan Aulawi : ‘Agro- Politik’, Lindungi Petani dari ‘Tengkulak’ dan Politisi
http://www.diplomasinews.net/2020/04/pemerhati-ketahanan-pangan-dede-farhan.html
Dede Farhan Aulawi |
DIPLOMASINEWS.NET_JAKARTA_COVID-19
yang terus meluas tampaknya belum bisa memastikan kapan wabah ini akan
berakhir. Paralel dengan gencarkan berbagai program kesehatan untuk mengatasi
penyebaran dan pencegahannya. Terdapat satu lagi yang tidak boleh dilupakan
yaitu tentang ketersediaan pemenuhan kebutuhan pangan bagi seluruh lapisan
masyarakat, baik yang terdampak langsung atau tidak akibat wabah virus Corona, ini.
Dalam
kondisi seperti itu, banyak masyarakat yang mulai terbangun pentingnya
membangun ketahanan pangan melalui kebijakan negara di bidang pangan yang
disebut dengan ‘agro – politik’.
Ketika
DIPLOMASINEWS.NET, menemui sosok pemerhati ketahanan pangan, Dede Farhan Aulawi,
di Jakarta, Selasa, 14 April 2020, menyatakan bahwa kebijakan negara di bidang
pangan adalah suatu wilayah kebijakan publik yang khusus menangani masalah
bagaimana makanan diproduksi, diproses, didistribusikan, dan diperjualbelikan.
Lanjutnya,
kebijakan publik itu didesain untuk mempengaruhi operasi sistem pertanian dan
pangan melalui penetapan tujuan produksi, pemrosesan, pemasaran, ketersediaan,
akses, pemanfaatan, dan konsumsi bahan pangan, serta menjelaskan proses untuk
mencapai tujuan tersebut.
Masih
lanjutnya, secara substansi kebijakan pangan tersebut bertujuan melindungi
masyarakat miskin dari krisis, mengembangkan pasar jangka panjang dan meningkatkan
efisiensi penggunaan sumber daya, serta meningkatkan produksi pangan untuk
meningkatkan pendapatan petani.
Jadi,
kata Dede, kebijakan pangan ini menggarisbawahi kewajiban untuk memenuhi
kebutuhan pangan seluruh masyarakat, utamanya tentu masyarakat miskin yang memiliki
daya beli yang rendah. Disamping itu juga masalah efisiensi sumber daya yang
sangat terbatas, termasuk salah satunya adalah keterbatasan ketersediaan lahan
produktif yang semakin menyempit akan pertambahan jumlah penduduk dan pesatnya
pembangunan.
Masih
ujar Dede, ketika berbicara peningkatan pendapatan petani, yang notabene sebuah itikad mulia untuk meningkatkan
taraf hidup dan kesejahteraan petani.
Kemudian,
Dede juga menambahkan terkait studi komparatif kebijakan pangan atau agro-politik
di beberapa negara sebagai pembanding, agar Indonesia bisa merumuskan desain
kebijakan pangan yang dinilai paling sesuai.
“Misalnya,
di Jepang. Orang boleh bicara apa saja tapi tidak boleh bicara ‘harga beras’,
meskipun harganya itu dinilai sangat mahal,” terang Dede, ketika ber – face to
face dengan DIPLOMASINEWS.NET, di
Jakarta, Selasa, 14 April 2020.
Terangnya
lagi, bahwa pemerintah Jepang menilai bahwa mahalnya harga beras merupakan hak
petani agar mereka bisa hidup di tengah negara industri yang mahal dan dalam
konteks itu negara hadir memberikan perlindungan kepada nasib kaum tani.
Lebih
jauh Dede memberi contoh, bahwa di Jerman yang harga bahan pangan sangat murah
dan berlimpah tetapi petaninya tetap tidak akan rugi. Hal tersebut terjadi
karena petani mendapat subsidi sesuai hasil panen, dari jual kentang, susu,
daging dan lain – lain.
“Misalnya
petani mendapatkan hasil panen sebesar 500 juta maka negara akan memberi
subsidi sebesar 500 juta juga,” jelas Dede.
Jelas
Dede, dengan kebijakan itu tentu petani sangat diuntungkan, dan masyarakat
mendapat hasil pangan dengan harga murah. Akhirnya petani pun berlomba-lomba
panen besar agar dapat subsidi besar. Uang subsidi didapat dari pajak masyarakat
dan dikembalikan ke masyarakat dalam bentuk pangan berkualitas dengan harga
yang murah dan terjangkau.
Dede
menyontohkan bahwa pemerintah Brazil membantu petani lewat COAMO untuk
mendapatkan akses modal, teknologi dan jaminan pasar sehingga panen tinggi
harga stabil dan tidak impor.
Contoh
di Negara Thailand, kata Dede, bahwa di mana rajanya dinilai Raja terkaya di
dunia karena sejak awal fokus di bidang pertanian, perkebunan, peternakan
dengan segala infrastruktur dan industri pendukungnya sehingga produk pertanian
Thailand mendunia. Padahal awalnya para ahli pertanian Thailand ‘belajar’
pertanian dari Indonesia.
Masih
urai Dede, itulah beberapa contoh kebijakan pangan di beberapa negara yang bisa
dijadikan referensi untuk membuat kebijakan pangan di tanah air. Kebijakan
negara yang melindungi petani dan berorientasi pada swasembada pangan, dan itulah
yang dikenal dengan istilah ‘agro-politik’, sehingga petani tidak ‘dipermainkan’
tengkulak dan makelar yang berkoalisi dengan para oknum politikus.
Lanjut
Dede, petani harusnya bagian dari entitas kaum yang sangat sejahtera, dan bukan
lagi kaum yang termarginalkan atau terpinggirkan kehidupan. Dan, para buruh
tani yang ada harus didesain dalam kurun waktu tertentu menjadi petani
sejahtera, bukan sekedar buruh yang selalu menderita dan serba kekurangan.
“Mereka
adalah pahlawan – pahlawan pangan yang selalu memikirkan hajat dasar kehidupan
umat manusia,” tegas Dede.
Tegasnya
lagi, bahwa kesejahteraan petani jangan hanya jadi ‘jargon’ saat musim kampanye
saja, tetapi harus benar – benar diwujudkan dalam roadmap yang jelas dan terukur.
Onliner
: oma prilly
Editor
: roy enhaer