Corona, Tampakkan Wajahmu, Jangan Usik Kampungku
https://www.diplomasinews.net/2020/04/corona-tampakkan-wajahmu-jangan-usik.html
![]() |
©roy enhaer |
SIAPAKAH
kau itu sesungguhnya, Corona? Sedang apa dan apa maumu hingga ‘kerasan’ berlama
– lama di kampungku, ini? Kenapa kau tak berani menampakkan wajah dan identitas
aslimu di depanku meski hanya ‘sak kelebatan’ atau sekejap saja?
Corona, lelaki
atau wanitakah kau, itu, sejatinya? Dengan berjalan kaki atau nggremet – kah jika kau sedang ‘dolan’
dan bepergian ke mana – mana, itu? Apakah selera makanmu jika kau lapar ketika di warung lesehan, dan apa jenis minumanmu saat kerongkonganmu
haus? Kenapa kau lebih suka mendatangi dan bergabung di tengah kerumunan massa
yang ‘kemriyek’ itu? Kenapa jika kau mandi lebih suka dengan cairan ‘bayclean’? Jawablah,
Corona.
Corona, andai
selama ini kau bersedia tampakkan wajah dan wujud utuhmu di depan orang – orang
di seluruh penjuru kampungku, pasti kau senantiasa diramahtamahi dan
dipersilakan ‘welcome’ oleh mereka. Bahkan kau pasti dijamu dengan prasmanan
bercita rasa lezat di atas meja panjang dan diperlakukan dengan baik sebagai sedulur, saudara dekat meski kau datang
dan berasal dari negeri jauh.
Corona, jika
hingga hari esok kau enggan, bergeming, ogah
menampakkan wujud aslimu di depan warga sekampung di desaku, dan benar – benar abai
atau menolak diajak dan tak mau dirangkul sebagai sahabat dekat, itu artinya
kau telah ‘njalari’ atau lebih dahulu meniup terompet perlawanan dan menabuh
genderang perang melawan orang – orang jengkel di smart kampungku.
Kejengkelan
warga di kampungku atas ketidakbersahabatanmu selama ini benar – benar memporakporandakan
tatanan social, tradisi – tradisi, budaya – budaya, dan kearifan local yang tumbuh sejak lama di kampung halamanku.
Bahkan ritualitas keagamaan yang telah menjadi nafas kehidupan di kampungku telah
kau ‘acak – acak’, kau cincang, hingga terbelah pecah, terberai hingga berkeping
– keping dan ajur mumur.
Corona, tunjukkan
batang hidungmu jika kau benar – benar pejantan tangguh dan di manakah hari ini
kau bersembunyi diri? Berbaju warna apakah kau sesungguhnya? Hitam atau putih,
hijau, kuning, atau merahkah?
Corona, hingga
seberapa lamakah kau berkeliaran menciptakan hororisme, enjit – enjiten, dan
ketakutan yang amat sangat hingga traumatic
di tengah – tengah tradisi berkedamaian warga di kampungku?
Corona, hampir setiap
pagi, siang, sore, hingga malam kami warga se kampung tak pernah henti menghalaumu,
mengusirmu dengan target menyemprotmu bertanki – tanki ‘bayclean’ di
seluruh sudut dan pojok – pojok yang paling ‘nyelempit’ sekali pun.
Pertanyaannku,
sesungguhnya dengan aksi semprot itu kau telah matikah? Atau jangan – jangan kau
justru ‘ngguya – ngguyu’ terbahak – bahak sembari mengejek orang – orang di
seisi kampungku?
Corona, karena
ulah culasmu itu, kami warga se - kampungku menjadi takut berinteraksi sesama
warga dan menjaga ‘jarak tanam’, sehingga bocah
– bocah usia sekolah ‘dipaksa’ harus
belajar dari rumah via online yang
sesungguhnya justru menambah cost atau
biaya kuota pemakaian pulsa. Bukankah semua itu juga gara – gara kelakuan usilmu selama
ini?
Dan,
larangan itu ditambah lagi harus bekerja dari rumah, padahal teramat banyak
warga di kampung kami yang cara ‘golek urip’ nya sebagai pekerja informal yang
mengais dan dapat rejeki hari ini hanya untuk makan hari ini, perkara makan
untuk esok itu urusan pagi besok.
Apakah
otak, logika dan nuranimu yang paling nurani itu tak pernah berpikir bahwa konsekuensi ‘melarang’
itu seharusnya harus dicari jalan keluar dan solusi terbaiknya terhadap orang –
orang yang ‘dilarang’ itu? Ojo mek isone
melarang – larang saja agar bekerja di rumah tetapi tidak
dikompensasikan apa pun sebagai ganti ‘isi perut’ dengan layak agar kami tidak ‘kelaparan’
dan sekarat di dalam rumah. Semua itu pun gara – gara ulah pengecutmu, itu, Corona.
Dan,
kekurangajaran Corona itu semakin naik di ubun – ubun warga se kampungku. Semakin hari
tensi darah seluruh warga di kampungku semakin meninggi karena kebrengsekanmu. Betapa
tidak, lha wong acara kenduri yang telah mentradisi di kampungku itu saja harus ‘dilarang’ dan ditiadakan dengan dalih
bukan melarang kendurinya, tetapi menghindari terjadinya kerumunan massa yang uyel – uyelan ketika acara itu berlangsung. Apalagi jika kegiatan itu
harus berlangsung ‘berjamaah’, pasti
harus ditiadakan demi memotong metamorfosa hidup Coronavirus.
Pertanyaannya,
kami seluruh warga se kampung ini akhirnya terus pye dan harus bagaimana, dan sampai hari kapan agar tidak terjadi ‘dilarang –
larang’ lagi? Sementara suara – suara himbauan yang terdengar di corong –
corong birokrasi itu agar kami disuruh mendisiplinkan diri jaga ‘jarak
tanam’ dan jarak social agar wabah Coronavirus itu terpotong rantai
hidupnya. Kemudian ketika untuk menanggulangi wabah Coronavirus itu butuh penggelontoran dana atas imbasnya ke warga, bisa jadi muncul dana yang 'diselipin' oleh para oknum yang hobinya suka melarang - larang, itu.
Bukankah
sesungguhnya warga se-kampung itu juga telah ‘terpotong’ rantai kehidupan mereka
ketika diwajibkan belajar, bekerja, dan beribadah dari rumah?
Corona, tampakkan
wajah dan wujud aslimu jika kau tak ingin tergelepar, terkapar, dan modar di trotoar? Bersegeralah berkemas –
kemas, dan angkat koper pulang ke negaramu.
Enyahlah, dan tinggalkan kampung halaman kami yang sejak dulu sarat canda, gelak tawa ceria, dan hidup damai sepanjang hari.
Enyahlah, dan tinggalkan kampung halaman kami yang sejak dulu sarat canda, gelak tawa ceria, dan hidup damai sepanjang hari.
©roy
enhaer
Banyuwangi,
Minggu Kliwon, 19 April 2020.