Menyambut Tahun Baru 2026 dan Memasuki KUHP Baru
Diplomasinews.net. -- Banyuwangi -- Dr. (C). Mashuri, S.H., M.H., M.Kn. Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Baru berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 yang akan efektif pada Januari 2026 menandai tonggak penting dalam sejarah pembaruan hukum pidana nasional Indonesia. KUHP baru ini tidak sekadar mengganti produk kolonial, tetapi membawa perubahan mendasar dalam filosofi, tujuan, dan cara pandang terhadap pemidanaan.
Menurut praktisi hukum Dr. (C). Mashuri, S.H., M.H., M.Kn., KUHP Baru merupakan langkah visioner menuju sistem hukum pidana yang lebih humanis, restoratif, dan berorientasi rehabilitasi, bukan semata-mata pembalasan terhadap pelaku tindak pidana.
KUHP Baru menunjukkan pergeseran paradigma yang jelas dari retributive justice (keadilan berbasis pembalasan) menuju restorative justice (keadilan berbasis pemulihan). Fokus pemidanaan tidak lagi semata menghukum pelaku, melainkan juga memulihkan korban, memperbaiki hubungan sosial yang rusak, serta mendorong reintegrasi pelaku ke dalam masyarakat.
Pendekatan ini mencerminkan semangat kemanusiaan dan nilai-nilai Pancasila, khususnya keadilan sosial dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Hukuman penjara tidak lagi diposisikan sebagai satu-satunya solusi, melainkan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium).
Meski dinilai progresif, para praktisi hukum menyoroti sejumlah tantangan serius dalam implementasinya.
Pertama, sosialisasi dan kesiapan aparat penegak hukum.
Polisi, jaksa, hakim, dan advokat dituntut untuk memahami konsep-konsep baru seperti living law (hukum yang hidup dalam masyarakat), pidana alternatif, serta pendekatan restoratif. Namun, hingga kini, sosialisasi dinilai belum merata dan mendalam, sehingga berpotensi menimbulkan perbedaan tafsir dan ketidaksiapan dalam praktik.
Kedua, kebutuhan integrasi dengan KUHAP Baru.
KUHP Baru tidak dapat berjalan efektif tanpa didukung oleh KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) yang baru. Hukum materiil dan hukum acara harus berjalan seiring. Tanpa pembaruan KUHAP, terdapat risiko ketimpangan antara norma pidana baru dan mekanisme penegakannya, yang justru dapat menciptakan ketidakpastian hukum.
Ketiga, tantangan interpretasi pasal-pasal baru.
KUHP Baru mengakomodasi berbagai bentuk kejahatan modern, termasuk kejahatan siber, serta isu-isu sensitif seperti aborsi dan narkotika. Hal ini menuntut aparat penegak hukum memiliki kemampuan penafsiran yang kontekstual, proporsional, dan tidak kaku, agar hukum tetap adil dan relevan dengan perkembangan masyarakat.
Pembaruan Substansi Hukum Pidana
Dari sisi substansi, KUHP Baru menghadirkan sejumlah pembaruan penting.
Keadilan restoratif mendapat ruang lebih luas, memungkinkan penyelesaian perkara di luar pidana penjara dengan menitikberatkan pada pemulihan korban dan tanggung jawab pelaku.
Selain itu, cakupan pertanggungjawaban pidana diperluas hingga mencakup korporasi, sejalan dengan meningkatnya kejahatan korporasi yang berdampak luas bagi masyarakat dan negara. KUHP Baru juga mengenalkan pidana alternatif, seperti pidana kerja sosial, sebagai bentuk pemidanaan yang lebih edukatif dan produktif.
Konsep living law menjadi salah satu terobosan sekaligus tantangan terbesar. Pengakuan terhadap hukum adat dan kebiasaan masyarakat sebagai dasar pertimbangan pemidanaan memerlukan kehati-hatian agar tidak menimbulkan diskriminasi, ketidakseragaman hukum, atau konflik dengan prinsip hak asasi manusia.
Secara filosofis, KUHP Baru bertujuan mewujudkan hukum pidana nasional yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945, bersifat humanis, serta menyeimbangkan kepentingan individu, masyarakat, dan negara. Hukum pidana tidak lagi dipandang sebagai alat represif semata, melainkan sarana pembinaan dan perlindungan sosial.
Sehingga Menurut Dr. (C). Mashuri, S.H., M.H., M.Kn., secara keseluruhan KUHP Baru merupakan langkah maju yang progresif dan visioner. Namun demikian, keberhasilannya sangat bergantung pada kesiapan seluruh pemangku kepentingan, masa transisi yang memadai, sosialisasi yang intensif, serta pendampingan melalui KUHAP Baru.
Tanpa persiapan matang, pembaruan hukum pidana yang diharapkan membawa keadilan justru berpotensi melahirkan ketidakpastian hukum baru. Oleh karena itu, adaptasi paradigma dan penguatan kapasitas aparat penegak hukum menjadi kunci utama menuju implementasi KUHP Baru yang efektif dan berkeadilan.
Contributors : Ikhsan
Publisher : Oma Prilly
