Ketika ‘Wartawan’ Berburu Parsel Lebaran
http://www.diplomasinews.net/2020/05/ketika-wartawan-berburu-parsel-lebaran.html
©roy enhaer
|
KETIKA
saya menjadi ‘wartawan – wartawanan’ sepuluh – lima belas tahun lalu dan pada hari
– hari menjelang lebaran H minus dua minggu
seperti sekarang ini, sejak starting
dari rumah sudah pasang kuda – kuda, menyimpan sejumlah jurus dan menata
stamina, menyiapkan nyali dan ‘ngrai gedheg’ atau menebalkan muka agar terbebas
dari rasa malu ketika tengah antre parcel
di depan pintu gerbang instansi.
Jujur,
kenapa pada setiap tahun saya tak pernah absen melakoni perburuan bingkisan
lebaran seperti itu? Pasalnya, para wartawan sebelumnya juga secara tidak
langsung telah ‘menularkan’ ilmu ‘ketuk pintu’ instansi yang kemudian saya copy – paste dan akhirnya saya praktiknyatakan setiap tahun ketika injury time menjelang lebaran.
Embuh nyapo. Entah kenapa aksi berburu parcel sekaleng biscuit di pintu – pintu instansi itu menjadi agenda dan tradisi tahunan
bahkan melestari hingga kini di kabupaten ini? Dan, apakah di wilayah kabupaten
lain para pemburu bingkisan hari raya itu pun melakukan hal yang sama persis dan
sebangun?
Apakah
peristiwa perburuan omplong wafer, lengo klentik, satu sachet kecap manis, sabun korah – korah cair, dan sebotol
sirup setiap jelang lebaran itu sebagai bentuk ikatan solidaritas dan
simbolitas sosial antara para pemburu dengan yang diburu?
Ataukah
peristiwa take and give pada setiap
detik – detik lebaran itu bisa terkategorikan sebagai bentuk gratifikasi antara
dua pihak yang telah bersimbiosis mutualistis kemudian dikemas sedemikian cantik
dan ditransaksionalkan pada momentum jelang hari raya?
Pertanyaan
lain, sesungguhnya tumpukan buntelan plastik
kresek parcel harii raya itu bersumber
dan dipangkaskan dari pos anggaran belanja apa? Dari institusional ataukah dari
duit personal?
Pertanyaan
saya lagi, kenapa sejumlah institusi ‘dinas’ sebagai obyek yang diburu tersebut
sejak jauh hari telah menyediakan bingkisan lebaran kepada para ‘pemburu parcel’
pada setiap jelang lebaran seperti sekarang ini?
Apa
sesungguhnya yang terjadi dan tersembunyi di balik atas semua itu? Jika dibedah,
adakah berita di balik berita di dalamnya? Mungkinkah seplastik kresek parcel itu sebagai bagian dari
modus ‘tutup mulut’ untuk menjinakkan saya agar tidak selalu ‘nyiyir’ dan akhirnya
menjadi ‘nyoyor’?
Akhirnya,
setiap tahun jelang lebaran, sepeda motor butut saya seperti layaknya ‘mlijo’
atau penjaja pedagang keliling hingga pating ceranthel dan sarat penuh kaleng biscuit yang tergantung di kaca spion,
jok belakang, di stang setir, dan juga saya masukkan di dalam tas punggung yang
tergantung di punggung.
Apakah
para wartawan yang bukan ‘wartawan – wartawanan’ seperti saya itu juga beraksi
serupa? Atau jangan – jangan ‘mereka’ juga beraksi sebangun tetapi cuma modus
operandinya saja tidak sevulgar dan setelanjang seperti saya dengan incang – inceng di pintu, dan
jentrek – jentrek di depan meja instansi
sejak pagi hingga menjelang senja hari.
Finally, meski ketika
itu status saya sekadar ‘wartawan – wartawanan’, toh aksi perburuan parcel
lebaran yang saya lakoni setiap tahun itu berjalan sesuai rencana dan sukses.
Dan, kesuksesan itu akhirnya membawa berkah di bulan yang penuh ‘barokah’ ini. Kemudian kebarokahan itu telah membarokahi dan menghiasi meja ruang tamu saya yang penuh dengan omplong biscuit dan sirup warna – warni demi menyambut lebaran nanti.
©roy
enhaer
Banyuwangi,
Ramadan, Minggu, 10 Mei 2020.