‘Njelekethek’
http://www.diplomasinews.net/2020/06/njelekethek.html
Roy Enhaer |
Masih
belum lupakah bahwa ke - gonjangganjing - an itu akibat dari ‘niat baik’ sang kepala
desa agar bansos tersebut merata demi keadilan yang beradab kepada sejumlah warganya
yang belum pernah mendapatkan dengan cara ‘mengiris’ sebagian hak dari warga
lain.
Simulasinya
adalah jika si A mendapat bansos tunai enam ratus ribu rupiah, maka si B yang
belum pernah menerima bantuan apa pun itu oleh sang kepala desa diupayakan untuk
mendapat dua ratus ribu rupiah agar terjadi ‘adil dan beradab’. Sehingga saldo
uang si A tinggal empat ratus ribu rupiah. Karena yang dua ratus ribu rupiah
telah ‘disedakahkan’ kepada si B.
Tetapi
bukankah cara kades yang ‘tak tega’ demi melihat warganya yang belum menerima bansos
itu agar sama – sama merasakannya? Meski ujungnya justru ‘niat baik’ itu
berakhir membawa sengsara dengan menabrak prosedural yang berlaku?
Maaf
sejuta maaf, saya tidak sedang ‘nggugah gurem turu’ atau menggali yang
terpendam, atau membuka luka lama, atau bahkan tidak bisa berlaku ‘mikul duwur
mendhem jeru’ atas desa tersebut dalam penyaluran duit tunai dampak COVID-19 beberapa waktu silam, itu.
Saya
bukan apa – apa dan bukan siapa – siapa. Saya sekadar mendudukkan hal itu di
tempat duduk yang seharusnya diperkenankan untuk diduduki. Saya hanya sekadar
menggali hikmah dan edukatifitasnya atau ilmu di balik peristiwa itu,
Jika
menyangkut duit rakyat pasti teramat
sensitive dan gampang meledak. Bukankah rakyat itu notabene berposisi sebagai pemilik kedaulatan di negeri ini?
Bukankah untuk mengelola dana rakyat itu dibutuhkan kesanggupan, kewaspadaan
dan kehati – hatian ekstra? Bukankah ketika kita dititipi duit pasti akan dikurangi, tetapi jika dititipi omongan pasti ditambah – tambahi
jumlahnya?
Sebaiknya
siapa pun jangan keburu marah atau bersungut - sungut dulu atas apa yang akan
saya bedah soal bansos yang ‘salah urus’ di desa tersebut hingga viralitasnya
menggaung ke seluruh jagat medsos
gegara tayangan channel TV yang di
tonton jutaan pasang mata tersebut.
Kenapa
tayangan wawancara audio – visual antara channel TV ‘local’ dengan nara sumber yang juga lokal itu menjadi
viral di social media? Sederhana jawabnya. Pertama terkait duit rakyat yang diduga tuna - prosedural dan rancu manajemen, itu. Kedua, ‘pengakuan’ polos dan apa adanya dari sejumlah nara sumber atas
semua temuan data valid, kefaktaan, dan keakuratannya untuk bisa
dipertanggungjawabkan sebagai sebuah produk jurnalistik yang the real news dan layak tayang.
Meledak
dan virallah tayangan wawancara itu.
Aneh
dan menjadi pertanyaan public bahwa ketika tayangan wawancara itu viral dan
menggaung hingga menjadi opini masyarakat, kenapa tetiba atau ujug – ujug audio – visual itu ter
- delete atau terhapus dan tak
bisa lagi ditonton tayangannya? Dan, beberapa saat kemudian tergantikan dengan
tayangan wawancara ‘penebusan dosa’ oleh nara sumber yang kemarin itu juga.
Lebih nganeh – nganehi lagi bahwa ternyata tayangan klarifikasi itu pun dipublikasikan
oleh channel TV yang sama.
Banyak
pertanyaan public yang dialamatkan kepada
saya, bahwa kenapa jika berita itu benar – benar factual, valid, akurat dan layak siar kemudian tanpa ada angin dan
hujan tiba – tiba diklarifikasi bahwa berita yang ‘benar’ kemarin itu menjadi ‘tidak
benar’ esok harinya? Anehnya, kenapa alur dan konten wawancaranya pun nara sumbernya diperan - adegankan
oleh ‘tokoh’ dan channel TV yang
sama? Kenapa semua 'menjadi' serba sama dan sebangun seperti 'kisah nyata' yang kemarin? Faktor kebetulan yang dibetul - betulkankah?
Pertanyaannya,
adakah pelajaran ‘penebus dosa’ yang diajarkan ketika para jurnalis itu tengah
menempuh uji kompetensi wartawan [ UKW ] demi mendapatkan selembar kertas tipis
yang bernama sertifikat atas kelayakan dan kualitas profesi itu?
Sekali
lagi, saya bukan siapa – siapa dan bukan apa – apa dalam konteks ini. Dan, saya
sama sekali tidak paham apa itu jurnalistik dan jurnalisme. Tetapi saya hanya
pernah membaca buku bahwa definisi wartawan sesungguhnya dan yang sungguh –
sungguh wartawan adalah seperti yang saya baca itu.
Ternyata
semua gonjang – ganjing, semua berita viral itu ujung - ujungnya hanya ‘njelekethek’
sampai di sini atau sebatas itu saja. Adakah upaya ‘di - peti es - kan’ dan dibiarkan membeku
di freezer agar menjadi es lilin yang
setiap saat bisa ‘dilamuti’ oleh bocah – bocah kecil berwujud dewasa itu?
Benarkah
kulturitas dalam budaya bernegara kita sejak dari hulu hingga ke hilir itu kini
lebih memilih ‘mengamankan’ pejabatnya ketimbang jutaan rakyatnya yang megap – megap akibat multi – imbas dan sering dijadikan selembar ‘welcome’
yang tersungkur di lantai untuk dijadikan alas kaki di depan pintu masuk di setiap instansi pemerintah itu?
Ternyata
benar – benar njelekethek.
©roy
enhaer
Banyuwangi,
Minggu, 14 Juni 2020.