‘Njelekethek’

Roy Enhaer
MASIH ingatkah memori dan akal sehat kita atas gelontoran bantuan enam lembar duit ratusan ribu rupiah tunai dari kementerian sosial akibat imbas COVID -19 yang menghebohkan, viral,  dan gonjang – ganjing di salah satu desa, di salah satu kecamatan, di salah satu kabupaten yaitu, Banyuwangi, di salah satu provinsi yaitu, Jawa Timur, dan di salah satu negeri kaya raya, yaitu Indonesia, pada beberapa waktu lalu menjelang lebaran, itu?

Masih belum lupakah bahwa ke - gonjangganjing - an itu akibat dari ‘niat baik’ sang kepala desa agar bansos tersebut merata demi keadilan yang beradab kepada sejumlah warganya yang belum pernah mendapatkan dengan cara ‘mengiris’ sebagian hak dari warga lain.

Simulasinya adalah jika si A mendapat bansos tunai enam ratus ribu rupiah, maka si B yang belum pernah menerima bantuan apa pun itu oleh sang kepala desa diupayakan untuk mendapat dua ratus ribu rupiah agar terjadi ‘adil dan beradab’. Sehingga saldo uang si A tinggal empat ratus ribu rupiah. Karena yang dua ratus ribu rupiah telah ‘disedakahkan’ kepada si B.   

Tetapi bukankah cara kades yang ‘tak tega’ demi melihat warganya yang belum menerima bansos itu agar sama – sama merasakannya? Meski ujungnya justru ‘niat baik’ itu berakhir membawa sengsara dengan menabrak prosedural yang berlaku?

Maaf sejuta maaf, saya tidak sedang ‘nggugah gurem turu’ atau menggali yang terpendam, atau membuka luka lama, atau bahkan tidak bisa berlaku ‘mikul duwur mendhem jeru’ atas desa tersebut dalam penyaluran duit tunai dampak COVID-19 beberapa waktu silam, itu.

Saya bukan apa – apa dan bukan siapa – siapa. Saya sekadar mendudukkan hal itu di tempat duduk yang seharusnya diperkenankan untuk diduduki. Saya hanya sekadar menggali hikmah dan edukatifitasnya atau ilmu di balik peristiwa itu,

Jika menyangkut duit rakyat pasti teramat sensitive dan gampang meledak. Bukankah rakyat itu notabene berposisi sebagai pemilik kedaulatan di negeri ini? Bukankah untuk mengelola dana rakyat itu dibutuhkan kesanggupan, kewaspadaan dan kehati – hatian ekstra? Bukankah ketika kita dititipi duit pasti akan dikurangi, tetapi jika dititipi omongan pasti ditambah – tambahi jumlahnya?

Sebaiknya siapa pun jangan keburu marah atau bersungut - sungut dulu atas apa yang akan saya bedah soal bansos yang ‘salah urus’ di desa tersebut hingga viralitasnya menggaung ke seluruh jagat medsos gegara tayangan channel TV yang di tonton jutaan pasang mata tersebut.

Kenapa tayangan wawancara audiovisual antara channel TV ‘local’ dengan nara sumber yang juga lokal itu menjadi viral di social media? Sederhana jawabnya. Pertama terkait duit rakyat yang diduga tuna - prosedural dan rancu manajemen, itu. Kedua, ‘pengakuan’ polos dan apa adanya dari sejumlah nara sumber atas semua temuan data valid, kefaktaan, dan keakuratannya untuk bisa dipertanggungjawabkan sebagai sebuah produk jurnalistik yang the real news dan layak tayang.

Meledak dan virallah tayangan wawancara itu.

Aneh dan menjadi pertanyaan public bahwa ketika tayangan wawancara itu viral dan menggaung hingga menjadi opini masyarakat, kenapa tetiba atau ujugujug audio – visual itu ter  - delete atau terhapus dan tak bisa lagi ditonton tayangannya? Dan, beberapa saat kemudian tergantikan dengan tayangan wawancara ‘penebusan dosa’ oleh nara sumber yang kemarin itu juga. Lebih nganehnganehi lagi bahwa ternyata tayangan klarifikasi itu pun dipublikasikan oleh channel TV yang sama.

Banyak pertanyaan public yang dialamatkan kepada saya, bahwa kenapa jika berita itu benar – benar factual, valid, akurat dan layak siar kemudian tanpa ada angin dan hujan tiba – tiba diklarifikasi bahwa berita yang ‘benar’ kemarin itu menjadi ‘tidak benar’ esok harinya? Anehnya, kenapa alur dan konten wawancaranya pun nara sumbernya diperan - adegankan oleh ‘tokoh’ dan channel TV yang sama? Kenapa semua 'menjadi' serba sama dan sebangun seperti 'kisah nyata' yang kemarin? Faktor kebetulan yang dibetul - betulkankah? 

Pertanyaannya, adakah pelajaran ‘penebus dosa’ yang diajarkan ketika para jurnalis itu tengah menempuh uji kompetensi wartawan [ UKW ] demi mendapatkan selembar kertas tipis yang bernama sertifikat atas kelayakan dan kualitas profesi itu?

Sekali lagi, saya bukan siapa – siapa dan bukan apa – apa dalam konteks ini. Dan, saya sama sekali tidak paham apa itu jurnalistik dan jurnalisme. Tetapi saya hanya pernah membaca buku bahwa definisi wartawan sesungguhnya dan yang sungguh – sungguh wartawan adalah seperti yang saya baca itu.

Ternyata semua gonjangganjing, semua berita viral itu ujung - ujungnya hanya ‘njelekethek’ sampai di sini atau sebatas itu saja. Adakah upaya ‘di - peti es - kan’ dan dibiarkan membeku di freezer agar menjadi es lilin yang setiap saat bisa ‘dilamuti’ oleh bocah – bocah kecil berwujud dewasa itu?

Benarkah kulturitas dalam budaya bernegara kita sejak dari hulu hingga ke hilir itu kini lebih memilih ‘mengamankan’ pejabatnya ketimbang jutaan rakyatnya yang megapmegap akibat multi – imbas dan sering dijadikan selembar ‘welcome’ yang tersungkur di lantai untuk dijadikan alas kaki di depan pintu masuk di setiap instansi pemerintah itu?  

Ternyata benar – benar njelekethek.

©roy enhaer
Banyuwangi, Minggu, 14 Juni 2020.

Related

Cover Story 3934401411366792934

Follow Us

Postingan Populer

Connect Us

DIPLOMASINEWS.NET
Alamat Redaksi : Perumahan Puri Jasmine No. 07, Jajag, Gambiran, Banyuwangi, Jawa Timur
E-mail : redaksi.diplomasi@gmail.com
item