Jer ‘Bupati’ Mowo Arto

Roy Enhaer
SAYA merasakan bahwa derajat skala fahrenheit politik menjelang pilkada Banyuwangi sudah mulai gemulak, umub blekuthakblekuthuk, dan mendidih. Padahal pesta demokrasi lima tahunan demi nyoblos bupati itu masih akan dihelat pada 9 Desember 2020, nanti.

Hingga detik ini, kandidat pilkada Banyuwangi masih muncul dua pasang bakal calon [ balon ] yang dieluselus dan digadang – gadang oleh partai dan pasukan bonek mereka masing – masing untuk maju berlaga pada coblosan nanti. Dan, juga sudah mendapat rekomendasi dari ‘juragan’ partai politik mereka di atas sana.

Pada jelang pilkada Banyuwangi, ini, lubang hidung saya juga mengendus aroma konspiratif, manipulatif, agitatif, kolutif, dan lalu lintas dana pelicin atau uang sogokan, hingga ruwetnya intrik – intrik yang telah lazim dilakoni oleh para politikus bahkan menjadi ‘rumus’ pada setiap helatan pesta demokrasi pada level apa pun dan di mana pun. Bahkan aroma ‘transaksional rekomendasi’ pun juga sudah merebak dan tercium di ruang publik.

Bukankah kita semua telah merasakan bahwa system demokrasi di negeri ini secara de facto telah berkiblat ke arah ‘demokrasi transaksional’. Demokrasi ‘prabayar’. Atau demokrasi NPWP, nomer piro dan wani piro?

Logika ndeso saya mengatakan bahwa siapa pun yang akan berlaga di ring pilkada Banyuwangi nanti, jika hanya ‘bondo suwal’, hanya ‘bondo abab’ dan ‘cangkem’ saja, agar lebih indah untuk mengurungkan birahi politiknya dan mundur alonalon dari helatan pilkada yang digelar pada 9 Desember 2020, nanti. Dan, senyampang belum menjadi pecundang.

Bukankah kini di negeri demokrasi ini meski sulit dibuktikan secara material tetapi faktanya telah berlangsung demokrasi ‘transaksional’ yang dipertontonkan dengan telanjang setelanjang telanjangnya?

Tapi semua itu menjadi wajar – wajar saja jika kita mengacu pada unenunen atau ujaran budaya wong Jowo. Yakni, Jer Basuki Mowo Beyo. Yang makna harfiahnya bahwa untuk menggapai kesuksesan selalu membutuhkan biaya atau pengorbanan. Baik material maupun imaterial. There is no free lunch, tak ada makan siang yang gratis.

Dan, jika saya plesetkan, akhirnya ungkapan Jawa, Jer Basuki Mowo Beyo, tersebut bisa ‘berubah’ menjadi Jer ‘Bupati’ Mowo Arto. Artinya, untuk meraih kedudukan kursi dan menapaki karpet merah di pendopo kabupaten, seorang bupati mesti berbekal ‘yotro’ atau financial yang tidak sedikit.

Betapa tidak, untuk sebuah rekom dari partai politik pengusung saja seorang bakal calon bupati mesti bertransaksional, kabarnya, bernominal milyaran rupiah. Dan, sebuah kursi partai pun ada nilai jual rupiahnya.

Jelasnya, seorang calon bupati jika hanya mengandalkan popularitas, cerdas, jujur tegak lurus dan merakyat saja tidak cukup jika tidak berkantong tebal dan memiliki link, koneksi dan jaringan sistemik di lingkaran pusat – pusat policy dari para eksekutor politik di atas sana.

Akhirnya, dan faktanya bahwa tidak pernah ada makan siang yang gratis. Yang ada hanya dan hanya Jer ‘Bupati’ Mowo Arto, saja.        

©roy enhaer
Banyuwangi, Jumat, 04 September 2020.

Related

Cover Story 6107229919369875791

Follow Us

Postingan Populer

Connect Us

DIPLOMASINEWS.NET
Alamat Redaksi : Perumahan Puri Jasmine No. 07, Jajag, Gambiran, Banyuwangi, Jawa Timur
E-mail : redaksi.diplomasi@gmail.com
item