'Hutang' Demo 'Dibayar' Demo
Oma Prilly |
Jujur, saya memang tidak melihat dan terlibat langsung di titik peristiwanya ketika gelombang aksi unjuk rasa mahasiswa di depan istana dan gedung wakil rakyat di Jakarta yang penuh heroisme pada 11 April 2022 kemarin itu.
Meski pengetahuan saya hanya sebatas nge - klik di YouTube atas gelombang unjuk rasa para mahasiswa di sana itu tetapi akan coba saya garis bawahi rangkaian peristiwanya sebatas yang bisa terpahami.
Sekali lagi, sependek yang saya pahami bahwa aksi demo yang digelar oleh para mahasiswa yang notabene adalah merupakan garda depan 'change agent' ( agen perubahan ) sebuah negara bangsa itu yang disoal adalah menolak keras wacana 'Jokowi Tiga Periode' di samping masih banyak tuntutan lain yang diteriaksuarakan oleh mereka dalam orasinya.
Dan, saya sangat yakin bahwa setiap kali lautan mahasiswa itu tumpah ke jalan di negeri ini pasti berangkat dengan berlandaskan gagasan murni tanpa terpolitisasi pihak manapun.
Dan, ketika para mahasiswa itu 'diganggu' kemurnian idealismenya oleh pihak lain pasti mereka akan 'jenggirat tangi' atau bangkit kemudian 'melawan'.
Kenapa para mahasiswa itu hingga akhirnya 'nekat' turun ke jalan sembari mengecam 'ketidakbenaran' yang sudah sekian lama terakumulasi tanpa solusi itu? Mungkinkah terdapat kanal atau saluran aspirasi antara pihak pengunjuk rasa dengan yang diunjukrasai itu tersumbat yang akhirnya 'meledak' menjadi persoalan nasional? Mungkinkah ketersumbatan komunikasi itu dipicu oleh kearogansian penguasa dengan memaksakan kehendak tanpa telinga mereka mendengarkan suara arus bawah sehingga para mahasiswa itu terpaksa membawa 'pembersih kuping' dalam orasinya sebagai simbolitas agar para pejabat di negeri ini tidak 'tersumbat' lubang telinganya atas sajumlah problem nasional yang terjadi?
Sekali lagi, saya sangat yakin bahwa apa yang diteriaksuarakan para mahasiswa dalam orasinya tersebut benar - benar gagasan orisinal.
Pertanyaannya, jika gelombang mahasiswa yang menuntut sejumlah tuntutan itu adalah wajar - wajar dan sangat logis. Adalah peristiwa lazim pada setiap éra, pada setiap orde, dan pada setiap zaman jika para mahasiswa melakukan aksi demo ketika mereka melihat dan merasakan beragam kepincangan atas kebijakan bernegara yang tidak taat dengan konstitusi, dan tidak berpihak kepada rakyat banyak?
Pertanyaan lagi, bahwa sesungguhnya mereka yang didemo oleh para mahasiswa itu adalah juga mereka yang dahulu pernah berunjuk rasa. Bukankah sekian waktu silam itu mereka adalah mahasiswa kemudian karena perjalanan 'nasib' nya akhirnya sekarang menjadi pejabat dan masuk di lingkaran sistem?
Bukankah kini saatnya mereka harus 'bayar hutang' demo karena dulu juga pernah mendemo? Bukankah hidup itu adalah siklus atau hanya berputar - putar? Dan, bagi mahasiswa yang sekarang berunjuk rasa itu suatu saat jika nasib baik membawanya menjadi pajabat, pasti juga akan diunjukrasai oleh para mahasiswa generasi berikutnya.
Bukankah hutang beras harus dibayar beras? Kemudian jika 'hutang' demo apakah mesti dibayar juga dengan demo?
Oma Prilly
Ramadan, Rabu,13 April 2022