‘Gestapu’ Enam Puluh Lima, Ratusan Mayat Tanpa Kepala

 TANPA KEPALA : Di tempat inilah, Mbah Tumiran menunjuk titik 53 mayat tanpa kepala dikubur massal. [ images : diplomasinews.net ]



DIPLOMASINEWS.NET _ RINGINTELU _ Lima puluh tiga tahun lalu, ketika ‘Gestapu’ 65 meletus, Jakarta hujan air mata, darah tumpah di mana-mana, nyawa meregang tercerabut dari ujung kerongkongan, langit Indonesia menangis, dan bumi meratap ‘mbrebes mili’. 

Mendung duka menggantung dan menggelayut hitam di seluruh pelosok negeri. Pasalnya, sejarah kelam telah terjadi selewat tengah malam pada 30 September hingga di awal 1 Oktober 1965. Burung malam memekik menyayat sebagai tanda duka atas terbunuhnya tujuh perwira militer dalam aksi kudeta.

Ternyata sejarah kelam itu tak hanya terjadi di Jakarta saja, tapi di Dusun Ringintelu, Bangorejo, Banyuwangi, Jawa Timur, juga terjadi aksi biadab sesama rakyat yang saling membunuh atau dibunuh. Dosa siapa dan salah siapakah sesungguhnya atas kebiadaban itu? Kebiadaban yang tak sanggup diterima akal sehat itu benar-benar terjadi. Ratusan nyawa melayang dengan kepala terpenggal tinggal badan.

“Di tempat ini dulu telah terjadi pembantaian manusia.  Sekitar 53 orang telah ‘ditugel’ kepalanya lalu didorong masuk ke dalam lobang,”  tutur Mbah Tumiran, 80 tahun, warga Ringintelu tersebut yang mengaku melihat langsung aksi penggal kepala itu, kepada DIPLOMASINEWS.NET, Minggu, 20 Nopember 2018. 

BENDUNGAN MAYAT : Pada 1965 lalu, sungai di bawah jembatan itu mengalir air darah dan ratusan mayat tanpa kepala menumpuk hingga membentuk tanggul. [ images : diplmasinews.net ] 


Masih tuturnya, dalam peristiwa 1965 tersebut, ia mengaku melihat langsung dari jarak sangat dekat atas aksi biadab penggal kepala itu. Ketika itu, ia tak berani memastikan siapa yang membunuh dan siapa yang dibunuh atas pembantaian massal tersebut. Pasalnya, ia hanya warga biasa dan bukan tokoh siapa-siapa di masyarakat. Meski begitu, pikirannya hanya bisa ‘meraba’ bahwa yang ‘membunuh’ adalah dari kelompok ‘Anshor’ dan yang ‘dibantai’ adalah dari kelompok PKI.

Lanjut Mbah Tumiran, sekira pukul delapan malam dan setelah tanggal satu Oktober sembilan belas enam puluh lima, peristiwa ‘penggal kepala’ sebanyak kurang lebih 53 manusia tanpa dosa itu terjadi di Desa Ringintelu, Bangorejo, Banyuwangi, Jawa Timur. Sebelum sebanyak 53 orang itu dijemput maut,sebelumnya mereka diusung oleh truk besar yang diambil dari desa-desa sekitar. Dan, seluruh mayat tanpa kepala itu dilemparkan layaknya bangkai binatang ke dalam lobang berukuran 2X12 meter yang sebelumnya telah disiapkan itu.

Mayat-mayat tanpa ‘endas’ itu tak hanya 53 orang saja, lanjutnya, tetapi ada ratusan mayat tanpa kepala yang dilemparkan ke dalam aliran sungai. Sehingga, saking banyaknya mayat tersebut, sungai yang airnya  bening itu, tiba-tiba berubah menjadi merah disebabkan oleh darah segar mayat massal yang terbantai pada peristiwa Gestapu 1965, itu.

“Ada tanggul mayat. Maksudnya, saking banyaknya mayat tanpa kepala yang hanyut di sungai itu, akhirnya ratusan mayat itu membentuk tanggul hingga menutup aliran air sungai yang mengalir darah segar itu,” kenang Mbah Tumiran, sembari pikirannya menerawang jauh ke masa-masa kelam pada 1965, itu.   
Hingga hari ini, Mbah Tumiran bersama istri tercintanya telah menempati rumah yang tepat di atas kuburan 53 mayat tanpa kepala tersebut.

Onliner : roy enhaer      

Related

Cover Story 162641449304052423

Follow Us

Postingan Populer

Connect Us

DIPLOMASINEWS.NET
Alamat Redaksi : Perumahan Puri Jasmine No. 07, Jajag, Gambiran, Banyuwangi, Jawa Timur
E-mail : redaksi.diplomasi@gmail.com
item