Benarkah Saya Jurnalis ‘Glundung Pringis’?
‘Glundung Pringis’ adalah sejenis bangsa lelembut atau makhluk ‘jejadian’ yang sering beraksi menakut – nakuti siapa pun. Jelasnya, semacam psiko -terror.
Secara visual, idiom ‘glundung pringis’ itu selalu menampakkan wujud kepala manusia yang terpenggal lepas dari tubuhnya. Dalam aksinya, ia mengelinding layaknya bola sepak kemudian ‘meringis’, ‘precang – precing’ atau menyeringai ketika berpapasan dengan bangsa manusia.
‘Believe It or Not’. Percaya terserah tidak percaya ya terserah. Wong ini sekadar ilustratif saja.
Dan, ilustrasi ‘glundung pringis’ di atas akan saya coba ‘persandingkan’ dengan kemuliaan Hari Pers Nasional [ HPN ] 2022, yang tengah didirgahayui tepat pada sembilan Februari, kali ini.
Tepat di hari milad wartawan nasional kali ini, saya coba robek dan kuak dada ini agar ‘uneg – uneg’ di dalamnya bisa tumpah dan membuncah menjadi tulisan. Yakni semacam otokritik atas diri saya yang selama ini ikut ‘grudak – gruduk’ sebagai wartawan di salah satu ‘home industry’ pers ‘daring’ di kampung.
Saya juga tidak kunjung paham apakah saya ‘pantes’, layak, dan laik disebut wartawan? Apakah saya sudah penuhi multy syarat sebagai wartawan? Seperti ekspertasi, kompetensi, basic kejurnalistikan, pemahaman dan juga kedalaman kode etik jurnalistik?
Pertanyaannya, kenapa segampang itu dan ‘ujug – ujug’ hanya dengan ‘sim salabim’ dalam durasi semalam saja saya langsung ‘menjadi’ wartawan tanpa melalui prosedur perekrutan yang jelas?
Kemudian apa kontekstualisasinya antara saya sebagai ‘wartawan’ dengan makhluk lelembut berjuluk ‘glundung pringis’ itu?
Sekali lagi, ihwal di atas sesungguhnya semacam otokritik yang menyasar atas diri saya sendiri. Bukan disasarkan kepada diri siapa pun. Juga tidak sedang menistakan, menghujat, mencaci maki atau menghinadinakan atas diri orang lain, apalagi berniat meng - ITE - kan orang lain.
Jujur, dalam konteks di atas, apa yang saya lakoni sehari – hari di jagat jurnalistik itu acapkali menggunakan trik – trik ‘glundung pringis’, yakni ‘meden – medeni’ atau menakut – nakuti hampir kepada setiap nara sumber yang saya temui.
Seperti, misalnya ketika ada oknum pejabat public menyimpangkan anggaran dana bantuan sosial ( bansos ) milik rakyat itu dengan cara ‘ngentit’ atau mengambil hak orang lain tanpa izin kepada pemiliknya. Kemudian, oknum pejabat yang menilep dana rakyat tersebut saya confirm yang ujung – ujungnya terjadi transaksional.
Kenapa antara saya dan oknum itu memilih ‘permufakatan’ di bawah taplak meja dan berakhir dengan simbiosis mutualistik? Jelasnya, di satu pihak berharap akan menangguk profit dan di pihak satunya akan ‘aman terkendali’ atas modus ‘penilepan’ dana bansos itu. Pasalnya, yang semestinya terpublikasikan di media akhirnya menjadi terluput dan aman - aman saja.
Jangan kernyitkan dahi dulu bahwa ini adalah lakon yang saya lakukan. Contoh soal lagi, yakni ketika ada oknum pejabat public yang agak zig - zag ketika tengah mengadakan program sertifikat nasional tapi dalam praktiknya menyimpang dari procedural yang baku. Itu pun juga saya confirm seperti nara sumber yang lain. Seperti lazim yang saya lakukan bahwa jika oknum pejabat itu tak ingin terusik aksi penyimpangannya, syaratnya ‘harus’ menyediakan logistik secukupnya agar tak terpublikasikan ke mana - mana. Dan jika tidak, ya ‘modar’ lah kau!
Sekali lagi, semua itu adalah lakon yang pernah saya lakoni sebagai bentuk otokritik atas diri saya. Benar - benar sebuah ‘kaca benggala’ buat cermin atas diri saya.
Ada contoh soal yang lain yakni ketika nara sumber telah berlaku ‘neko – neko’ memungut liar seragam sekolah atas ratusan siswanya. Seperti yang lazim saya lakukan bahwa oknum nara sumber itu ‘cepet - cepet’ saya ‘gedor’ pintu kantornya kemudian dilanjut dengan ‘digedor’ dan ‘dirobek - robek’ isi dompetnya.
Sekali lagi, ini adalah semacam otokritik atas lakon kejurnalistikan saya selama ini yang selalu menggunakan modus operandi ‘glundung pringis’. Dan, hal itu sama sekali tidak berunsur dan berniat ‘gebyah uyah podo asine’ atau menggeneralisasi semua.
Apologika, dan maafkan saya Mr. Jurnalis. Hanya ini yang bisa saya lakonkan dalam keseharian selama menjadi wartawan. Kebisaan saya hanya sebatas sebagai ‘glundung pringis’ saja. Dan, tidak akan ‘seperti’ itu lqgi untuk ke hari - hari depannya karena memang ketidakpahaman saya. Maafkan saya dan doakan untuk tidak ‘berglundung pringis’ lagi.
Akhirnya, masih diperkenankankah saya ucapkan dirgahayu Hari Pers Nasional [ HPN ] 2022, kali ini? Ucapan yang Insya Allah benar - benar tersembul dari kedalaman relung jantung dan ceruk hati saya yang paling dalam.
Dirgahayu Hari Pers Nasional [ HPN ] 2022.
Oma Prilly
Jember, Rabu, 09 Februari 2022