Dinamika Pesantren dalam Sirah Bangsa dari 'Kemurnian Tauhid' hingga 'Takbir Kemerdekaan'

Munawwaroh Ajhury, M. Pd

SEJARAH pendidikan Islam di Indonesia adalah sejarah tentang daya tahan, perlawanan, serta kepemimpinan moral dan spiritual. Di tengah tekanan kolonialisme, pesantren bukan sekadar lembaga belajar agama, melainkan benteng budaya dan spiritual bangsa. 

Dari ruang-ruang sederhana beralaskan tikar, lahir generasi yang berani melawan penindasan, menjaga kemurnian tauhid, sekaligus menyalakan api kemerdekaan.

Pada masa penjajahan Belanda, pesantren dianggap ancaman yang harus diawasi. Pemerintah kolonial khawatir pengajaran agama akan melahirkan semangat perlawanan. Maka dibuatlah aturan diskriminatif. Guru agama harus memiliki izin resmi dari pemerintah Belanda, kegiatan mengaji Al - Quran diawasi, dan pesantren sering diperlakukan sebagai lembaga pendidikan kelas dua. Sekolah-sekolah Belanda digambarkan sebagai modern dan berperadaban, sementara pesantren dianggap tradisional dan ketinggalan zaman. Tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya. Pesantren justru menjadi ruang tumbuhnya daya kritis, solidaritas umat, dan tekad mempertahankan jati diri bangsa.

Ketika Jepang datang pada tahun 1942, situasi pun berubah. Jepang berusaha merangkul ulama dengan strategi halus. Mereka memberi ruang pada pendidikan agama, bahkan mengajak kiai duduk dalam organisasi resmi seperti Shumubu [ semacam kantor urusan agama Islam yang menjadi cikal bakal berdirinya Kementerian Agama di Indonesia ], kemudian Masyumi.

Seolah-olah Jepang menghargai Islam, padahal di balik itu tersimpan agenda politik menjadikan pesantren sebagai sarana propaganda untuk memenangkan perang Asia Timur Raya.
Sisi gelap Jepang muncul dalam kebijakan seikerei. Setiap rakyat diperintahkan membungkuk ke arah matahari terbit sebagai simbol pengagungan Kaisar Jepang. Perintah itu sampai ke serambi dan bilik-bilik pesantren, kepada kiai dan santri yang sehari-hari menjaga kemurnian Tauhid. Menundukkan kepala kepada selain Allah berarti syirik. 

Di sinilah drama besar itu terjadi. Banyak ulama menolak keras termasuk KH Hasyim Asy‘ari di Jombang yang akhirnya dipenjara karena penolakan kerasnya tidak mau tunduk pada titah Pemerintah Jepang. Para kiai lain memilih mempertahankan martabatnya meski harus menghadapi risiko besar. Adegan ini adalah salah satu babak paling menegangkan dalam sejarah pendidikan Islam. 

Pesantren dipaksa memilih antara keselamatan diri atau kemurnian iman. Mereka memilih yang kedua. Itulah bukti bahwa kepemimpinan ulama tidak lahir dari kekuasaan, melainkan dari keteguhan hati. Mereka bukan hanya guru yang mengajarkan kitab kuning, tetapi juga penjaga akidah yang tidak tergoyahkan oleh kekuatan imperium mana pun.

Perlawanan pesantren tidak selalu berbentuk perang terbuka. Kadang ia hadir dalam simbol - simbol sederhana, tetapi sarat makna. Sarung yang dikenakan santri adalah lambang perlawanan budaya, penegasan identitas Islam di tengah dominasi gaya berpakaian Barat yang dipaksakan kolonial. Peci hitam yang melekat di kepala kiai bukan sekadar pelengkap, tetapi simbol harga diri dan keislaman yang kokoh. 

Bahkan cara santri menjaga tradisi menghafal kitab kuning, hidup sederhana, dan bergotong royong, adalah wujud perlawanan terhadap hegemoni penjajah yang ingin menanamkan ketergantungan. Identitas kultural itu menegaskan bahwa mereka punya cara hidup sendiri, berbeda dari pola yang diinginkan penjajah.

Dari pengalaman pahit di bawah Belanda dan Jepang, pesantren belajar arti kemandirian dan bahaya manipulasi. Belanda mengajarkan bahwa kebijakan represif hanya akan menumbuhkan perlawanan. Jepang memberi pelajaran bahwa kedekatan semu tidak selalu membawa maslahat. Dua kekuatan besar itu akhirnya pergi, tetapi pesantren tetap bertahan, dengan jiwa yang lebih tegar dan keyakinan yang lebih dalam.

Kini, bentuk penjajahan tidak lagi berupa larangan belajar Al - Quran atau pemaksaan menyembah matahari. Penjajahan hadir dalam rupa yang lebih halus, dominasi ekonomi global, penetrasi budaya yang mengikis identitas, hingga krisis moral yang melanda generasi muda. 

Inilah kolonialisme baru yang tak kalah berbahaya, bahkan lebih licin dan tidak kasat mata. Tantangan ini menuntut pesantren untuk kembali memainkan peran sejarahnya, menjadi benteng perlawanan dan pusat pembebasan.

Pendidikan Islam di era sekarang tidak boleh terjebak hanya pada formalitas administrasi atau sekadar memenuhi tuntutan pasar kerja. Ia harus kembali ke hakikatnya. Membentuk manusia merdeka, baik secara intelektual maupun spiritual. Pesantren memiliki bekal sejarah yang sangat kuat untuk itu. 

Jika dulu mereka mampu menghadapi penjajahan dua imperium besar dunia, maka sekarang pun pesantren bisa menghadapi kolonialisme baru dengan cahaya ilmu, kekuatan iman, dan identitas budaya yang terus dipelihara.

Sejarah telah memberi teladan bahwa kiai dan santri tidak gentar berhadapan dengan penjajah, bahkan ketika diancam nyawa sekalipun. Mereka tidak tunduk pada matahari, karena mereka hanya tunduk kepada Allah. Mereka tidak kehilangan jati diri meski dicap tradisional, karena justru dari tradisi itulah lahir kekuatan bangsa. 

Kini giliran generasi penerus yang harus menjaga warisan itu. Tantangan boleh berubah, tetapi pesantren harus tetap menjadi suluh yang menerangi jalan bangsa, sederhana, merdeka, berilmu, dan berakhlak.

Penulis adalah dosen Sejarah Pendidikan Islam STAI Salafiyah Bangil, Pasuruan, Jawa Timur.

Related

Cover Story 5798319458858534354

Follow Us

Postingan Populer

Connect Us

DIPLOMASINEWS.NET
Alamat Redaksi : Perumahan Puri Jasmine No. 07, Jajag, Gambiran, Banyuwangi, Jawa Timur
E-mail : redaksi.diplomasi@gmail.com
item