Minyak Goreng ‘Melejit’ di Negeri ‘Kelapa Sawit’

Oma Prilly

Bagi kaum hawa seperti saya yang tak ‘mudeng’ dengan industri dan distribusi bahwa setetes minyak goreng itu sangat berharga keberadaan dan kegunafungsiannya. 

Betapa tidak. Ketika hari - hari ini harga ‘lengo klentik’ atau minyak goreng di pasaran melejit hingga tembus ke langit, pasti berimbas langsung terhadap ‘emak - emak’ di seantero negeri ini.

Tulisan saya ini sesungguhnya sekadar ‘uneg - uneg’ yang mewakili jeritan kaum hawa ketika salah satu bahan pokok sehari - hari itu harga eceran tertingginya sedang meninggi hingga tak terbeli.

Jujur, tulisan saya ini bukan sekadar asal usil saja, dan juga bukan tanpa fakta tetapi setumpuk keheranan yang menyumbat di kepala ini bahwa kenapa negeri yang daratannya membentang maha luas yang ditumbuhi tanaman kelapa sawit justru menjadi kontradiktif dan ‘kok bisa - bisanya’ harga minyak goreng yang notabene berbahan dasar dari tanaman industri tersebut melejit?

Akankah hari - hari ini kaum ‘emak - emak’ jika menggoreng tempe - tahu mesti dipanggang di atas nyala api kompor gas elpiji subsidi yang isi tabungnya kurang dari 3 kilogram itu? 

Tak hanya minyak goreng saja yang harganya terbang melambung di negeri ‘nyiur melambai’ ini. Jika kita masih ingat, bahkan harga komoditas garam pun dulu pernah terjadi kelangkaan kemudian disusul dengan harga melambung tinggi. 

Bukankan negeri ini adalah negeri kepulauan dengan maha luas lautnya yang bisa sebagai bahan baku pengolahan garam sehingga tidak terjadi kelangkaan? 

Seironis itukah bahwa negeri yang maha luas lautnya itu masih saja terjadi peristiwa kelangkaan garam ketika itu?

Mungkinkah bahwa negeri ‘gemah ripah loh jinawi’ yang tak terhitung maha luas daratannya dengan tetumbuhan kelapa sawit itu justru hari - hari ini masih saja terjadi ‘insiden’ harga minyak goreng yang melejit hingga menyodok langit? 

Oma Prilly

Jember, 01 Februari 2022